Thursday, April 29, 2010

Insyaflah Wahai Manusia: Lagi-Lagi Tentang Pergaulan (Seks) Bebas

Source: http://abisyakir.wordpress.com/


Special: “Semerbak Godaan SEKS”


Dari situs eramuslim.com saya membaca artikel tentang jejering facebook yang sering dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan negatif. Misalnya, untuk curhat hal-hal yang bersifat terlalu pribadi, melontarkan godaan seks, berpesta kata-kata ngeres, menjaring calon korban eksploitasi seks, dan lain-lain. Ketika membaca artikel itu saya segera teringat sebuah ide tulisan yang telah lama ingin ditulis.

Baiklah, kita mulai saja. Sebelum tulisan ini berlanjut, mohon para pembaca untuk berbesar hati sejenak membaca kalimat-kalimat sensual di bawah ini.
Kalimat seperti ini banyak beredar di tengah-tengah anak muda dewasa ini. Ia sering dipakai oleh para penulis porno yang untuk membangun imajinasi kotor. Setidaknya, kalimat-kalimat seperti itu sangat kental nuansa imajinasi seksualnya. Sebagian ide kaliamat ini, saya mengambil dari artikel di eramuslim.com, sebagian lain saya buat sendiri. Sekali lagi, mohon berbesar hati dulu!

Beberapa orang gadis muda metropolis menulis dalam halaman facebook-nya:

“Oh sayang, malam ini hujan deras. Terasa sangat dingin. Aku sendiri di tempat tidur. Andaikan ada kekasihku yang tampan di sisiku, malam ini tentu akan terasa sangat hangat. Ooohhh…”

“Sayang, andaikan kamu datang ke apertemenku. Aku lagi sendiri. Aku kesepian. Kalau ada kamu di ruang tamuku, aku akan melakukan aksi terbaikku.
Aku kan mandi air hangat sebersih mungkin. Lalu keluar kamar mandi untuk menjumpaimu, hanya memakai handuk putih. Di hadapanmu, aku akan pura-pura melakukan sesuatu, agar handukku jatuh ke lantai. Lalu terjadilah yang terjadi… Kita larut dalam desahan-desahan nafas.”

“Kalau di kamar kost, aku sering sengaja tidak memakai daleman, bawah dan atas. Ya, selain karena kamarku panas, aku kegerahan. Tapi ada maksud lain juga. Siapa tahu, ada cowok cakep masuk kamar? Kalau ada cowok itu, ya sudah tinggap siap pakai. Tidak usah prosedur macam-macam.”

“Sayangku, sekali aku melakukan hal itu denganmu, aku ingin lagi. Sungguh enak, terasa nikmat. Rasanya, semua duka dan sedihku hilang. Apalagi engkau laki-laki yang gagah, permainanmu sungguh menakjubkan. Kapan lagi sayang kita bermain-main lagi?
Aku merindukanmu.”

“Pagi ini aku bangun dalam keadaan tidak memakai apa-apa. Aku tidur, hanya ditutupi selimut. Tadi malam Arjunaku datang dan meminta kenikmatan. Ya sudah kami lakukan bersama. Malam yang dingin terasa panas. Aku mendesah terlalu keras. Mungkin tetanggaku terganggu. Tapi mereka juga sering menggangguku. Oh, Arjunaku sungguh hebat. Dia tahu aneka teknik yang aneh-aneh. Aku nurut saja.
Ah, biar saja, toh aku senang juga.”

Saudaraku rahimakumullah…

Mohon maaf beribu maaf.
Dengan terpaksa kutulis ratapan-ratapan birahi beberapa wanita muda itu. Meskipun semua ini hanya imajinasi belaka. Mohon jangan berburuk sangka dulu. Ada maksud baik yang diinginkan dari gambaran tentang ratapan-ratapan birahi di atas.

Kehidupan yang semula bening, akhirnya hancur karena seks bebas.
Kalau Anda perhatikan, semua ratapan itu diucapkan oleh wanita (atau cewek-cewek). Ratapan birahi di atas sangat besar pengaruhnya bagi orang laki-laki, khususnya anak-anak muda.
Tetapi sebenarnya, ia tidak terlalu berpengaruh kuat bagi orang wanita. Stimulus seksual bagi laki-laki dan wanita BERBEDA. Kegairahan seksual laki-laki sangat dipengaruhi oleh pandangan mata, pendengaran telinga, dan IMAJINASI-nya. Anda harus ingat, orang laki-laki itu lebih kuat rasionya daripada perasaannya. Maka kalau ada ratapan-ratapan birahi itu, pasti akan segera memunculkan imajinasi bermacam-macam. Dengan catatan, laki-laki itu normal.

Kalau kita baca ratapan-ratapan birahi itu, kesimpulan yang paling mudah muncul dalam benak kita adalah: “Wah, indah sekali ya dunia birahi dengan wanita-wanita itu. Ternyata, kehidupan seks mereka sangat meriah, bergairah, dan bergelora. Oh, sungguh indahnya hidup di tengah mereka. Sehari-hari bisa berpesta seks sesuka hati, sebebas-bebasnya. Itulah dunia yang didambakan anak muda.” Ya begitulah kira-kira kesan paling sederhana dan rasional yang bisa kita tangkap.

Tapi ingat, semua pesta seks dan segala keindahan yang diklaim itu, ia dilakukan di atas perbuatan dosa. Semua itu dilakukan secara ilegal alias ZINA. Pertanyaannya, apakah para pelaku zina itu bisa merasakan kenikmatan seks? Apakah mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan seks yang benar-benar berkesan, memuaskan, dan penuh nikmat? Apakah dalam hidupnya mereka bisa mendapati kenikmatan seks yang ideal?

Sungguh, demi Allah Ta’ala, para tukang zina itu sama sekali tidak akan mendapati kenikmatan seks yang ideal seperti yang didampakan setiap orang, baik laki-laki maupun wanita. Jauh, jauh, sangat jauh sekali. Segala kemegahan suasana seks yang mereka gambarkan, semua itu hanyalah IMITASI, hanyalah OBSESI mereka yang tidak pernah terpuaskan, sampai kapanpun juga.

Buktinya apa?

Saudaraku, ketahuilah, semoga Allah Ta’ala menolongmu untuk mencintai-Nya dan tulus berbakti kepada-Nya. Amin. Dunia seks itu sama dengan dunia kerja, dunia belajar, dunia karya, dunia pengabdian, dan sebagainya. Anda pasti sangat kenal ungkapan ini, “Segala sesuatu ada seninya!” Nah, dalam dunia seks juga ada SENI-nya. Malah, tingkatan seni yang dibutuhkan untuk mendapatkan nikmat seks yang sempurna, sangat rumit. Ia sangat jauh dari gambaran yang dibuat oleh tukang-tukang pengetik novel cabul. Sama sekali jauh.

Apa buktinya?

Saya berikan bukti kepada Anda dengan sejelas-jelasnya. Ketahuilah saudaraku, aku menikah baik-baik dengan isteriku ketika usiaku masih muda, sekitar 21 tahun. Anda tahu, di usia 20-an tahun itu tentu stamina seseorang masih kuat dan tangguh. Apalagi, aku sendiri sejak kecil tidak pernah merokok dan ketika remaja suka olah-raga. Lalu apa yang kudapati dalam kehidupan seksual ini? Sungguh, aku baru memahami seni hubungan seksual yang baik dengan isteri, setelah masa pernikahan berjalan 3 tahunan.

Anda catat dengan baik: TIGA TAHUNAN, fren! Padahal tentu selama 3 tahun itu tidak terhitung berapa kali hubungan seksual dilakukan. Masya Allah, urusan seks itu ada seninya. Dan Anda akan belajar menemukan seni hubungan itu seiring perjalanan rumah-tangga Anda.

Lalu lihatlah anak-anak muda bodoh, baik gadis-gadis ABG yang hina, maupun pemuda-pemuda konyol yang otaknya dipenuhi obsesi-obsesi cabul!
Mereka memasuki dunia seks terburu-buru, tergesa-gesa, main tembak, main sikat saja. Mereka melakukan pesta seks seperti hewan; mereka tidak memiliki suatu seni apapun, selain slogan konyol, “Kalau tidak menembak, aku akan tertembak.” Ya Allah ya Karim, betapa bodohnya anak-anak itu.

Aku sangat terkesan dengan sebuah ayat dalam Surat Al Hasyr: “Wa laa takunu kalladzina nasullah fa ansahum anfusahum, ulaika humul fasiquun” (janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuat mereka lupa terhadap diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasiq).

Ayat ini sangat benar. Anak-anak muda bodoh dan dungu itu, mereka enggan beribadah, melupakan Shalat, tidak mau membaca Al Qur’an. Dzikir yang mereka ucap setiap hari isinya hanya: anjing, sinting, goblok, coitus, Mr. P, Miss V, kamasutra, video bokep, perek, sakaw, sabu-sabu, baphomet, satan, dll. Amat sangat mengerikan. Mereka melupakan Allah, maka Allah pun membuat mereka lupa terhadap dirinya sendiri.

Urusan seks itu sangat halus. Tidak sekasar yang digambarkan dalam film-film porno, video mesum, dalam novel cabul, dan sebagainya. Sama sekali tidak! Urusan seksual itu sangat lembut. Jika seseorang ingin mendapat sensasi rasa yang maksimal, dia harus memiliki SENI-nya. Sedangkan seni seksual itu membutuhkan masa berlatih yang panjang, disamping kesetiaan, kepasrahan hati kepada pasangan (suami/isteri), jaminan pengakuan sosial, serta situasi kondusif untuk melakukannya.

Apa yang ditulis dalam ratapan-ratapan birahi di atas, dalam novel-novel cabul, dalam canda-candaan cabul, dalam artikel-artikel cabul (seperti di Pos Kota), semua itu OMONG KOSONG belaka. Kalau orang-orang yang meratap itu merasa bahagia, pasti dia tidak akan meratap. Justru karena mereka gagal, mereka merasa dirinya kotor dan jijik, mereka merasa sudah putus-asa untuk mendapatkan kenikmatan seks hakiki, maka keluarlah ratapan-ratapan yang mengerikan itu. Semakin kencang ratapan mereka, semakin kuat bukti keputus-asaan mereka.

Demi Allah, tidak akan mungkin mereka mendapati kenikmatan seks ideal dengan cara-cara yang ilegal. Semakin bertambah jumlah perzinahan mereka, semakin sakit dirinya, semakin menderita hidupnya. Semakin dalam mereka terjun ke dunia seks bebas, semakin hancur urusan seks-nya. Hanya waktu yang akan membuktikan, bahwa suatu saat mereka akan mati binasa sebagai sampah tak berguna.

Ini kenyataan dan sudah banyak faktanya. Anak-anak muda yang saat ini sangat mendewa-dewakan seks bebas, sangat terobsesi dengan segala bentuk seks ala binatang, sangat provokatif dalam mengangkat isu-isu seks.
Mereka itu pada dasarnya sedang diberi TOLERANSI oleh Allah Ta’ala. Mereka dipersilahkan menghabiskan masa mudanya, kekuatan tubuhnya, untuk bersenang-senang sesuka hatinya. Batas yang diberikan kepada mereka hanya sampai usia 30 tahun saja. Silakan selama itu mereka berpesta, bersuka ria sesuka hati. Sesudah usia menginjak 30 tahun, bahkan bisa lebih rendah dari 30 tahun, hidup mereka akan dibakar perlahan-lahan. Itulah balasan atas segala kesombongan dan sikap sok jago mereka. Demi Allah, mereka tidak memiliki masa depan sama sekali. Kecuali kalau mereka segera sadar, lalu segera taubat sebelum masa-masa sanksi Allah tiba.

Di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sebagainya banyak eksekutif-eksekutif muda yang maniak seks. Tingkahnya sama seperti anak-anak ABG dungu itu. Mereka juga memuja-muja seks, memuja-muja syahwat dan libido. Kalau di Jakarta, inspirator mereka adalah seorang laki-laki terlaknat, Moamar Emka.

Orang-orang ini sama saja, sama bodohnya, sama dungunya. Hanya bedanya, mereka punya uang lebih banyak, memiliki fasilitas lebih keren, lebih keji seleranya, dan tentu saja lebih munafik. Sebab mereka seperti binatang amfibi, hidup di dua alam. Di satu alam, mereka memuja seks bebas; di alam lain, di dunia formal, mereka fasih mengucapkan, “Alhamdulillah, insya Allah, subhanallah, masya Allah, Allah SWT, dan sebagainya.”

Satu kata saja, buat para eksekutif muda maniak seks itu. Petualangan seks Anda tidak akan menyakiti, selain diri Anda sendiri dan orang-orang sejenis Anda. Semakin banyak reputasi Anda di dunia kelam, semakin hebat “tombak sanksi” yang menancap di dada Anda. Semakin jauh Anda teruskan petualangan binatang Anda, maka Anda akan mendapati hukuman dari sisi Allah yang semakin sengit dan pedih.

Kemudian ada lagi, tingkah laki-laki dewasa yang senang selingkuh. Usia sudah paroh baya, punya isteri, anak-anak semakin besar, tetapi suka selingkuh. Bukan hanya selingkuh, mereka juga suka “makan daun muda” di kedai-kedai pelacuran. Katanya, komunitas “Om-Om” ini memiliki seni bermain cinta yang hebat. Maklum, dia sudah punya isteri, banyak berlatih dengan isteri legalnya di rumah.

Tetapi apalah artinya seks yang dia lakukan?
Dia menumpahkan cairan spermanya di atas kemaluan yang tidak sah untuk disentuh. Jangankan disentuh, didekati saja tidak boleh, sebelum legal menjadi isterinya. Apa artinya dia mendapatkan kepuasan di atas kehormatan yang haram? Ini hanya omong kosong. Mungkin, laki-laki bejat dan terkutuk seperti itu bisa merasakan kenikmatan seks tertentu. Tetapi nikmat itu tidak legal alias haram. Di hati kecilnya pasti ada penolakan terhadap aktivitas seks ilegal itu. Itu pasti. Nurani manusia tidak bisa dibohongi.

Ketika seorang laki-laki terkutuk, tukang selingkuh, sedang ngangkangi tubuh wanita yang tidak halal baginya, seharusnya dia segera bertanya pada dirinya sendiri: “Bagaimana kalau anak perempuanku dikangkangi laki-laki haram seperti ini? Bagaimana kalau isteriku sendiri dikangkangi laki-laki haram seperti ini? Bagaimana kalau adik-adik perempuanku dikangkangi laki-laki haram seperti ini?” Dengan bertanya seperti itu, semoga muncul kesadaran dari diri laki-laki bejat itu untuk bertaubat kepada Allah.

Kalau dia malah mengatakan, “Gue tak peduli, apapun yang terjadi pada anak perempuan gue, isteri gue, adik-adik gue. Biar saja, mereka melakukan zina seperti gue juga. Ya, kita sama-sama bejatnye.” Kalau dia sudah seperti itu, maka jelas dirinya adalah syaitan terkutuk. Orang seperti itu perlu didoakan agar segera celaka secelaka-celakanya, mampus semampus-mampusnya, hancur sehancur-hancurnya. Dan biasanya, ketika kebobrokan moral itu sudah memuncak seperti syaitan, pertanda hukuman akhir Allah segera tiba. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Semakin jauh seorang pemuda atau pemudi melangkah menyusuri dunia seks bebas, semakin perih siksaan hidup yang akan menimpa dirinya. Bahkan suatu ketika, Allah akan mencabut nikmat seks itu sama sekali. Bahkan suatu saat, Allah akan menyingkap kehormatannya, sehingga dia mati dalam keadaan tercampakkan. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

Ingatlah saudaraku, segala sesuatu ada seni-nya. Kunci seni seksual adalah PRIVACY. Semakin tertutup urusan seks Anda, tentu saja seks yang legal, itu semakin baik. Semakin terbuka seks Anda, apalagi sampai menerjuni seks bebas, maka Anda tidak akan mendapatkan seni seks sama sekali.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya, bagiku, bagi keluargaku, bagi pembaca semua, serta kaum Muslimin. Semoga Allah menyelamatkan kita dan keturunan kita dari fitnah seks bebas, kemudian Dia memberikan kepada kita sebaik-baik kenikmatan dalam urusan seks. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AMW.


Tuesday, April 20, 2010

Melawan Hegemoni ITB

Inti tulisan ini adalah mengajak semua anak bangsa untuk terus berprestasi tanpa batasan kampus ataupun Negara, melainkan dunia... saya tambahkan, mari berprestasi dunia dan akhirat. Jangan hanya mengukur kesuksesan dari keberhasilan materi, tapi juga keberhasilan moral, insya Allah kebahagiaan dunia dan akhirat akan didapat.

From: http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=6781

Melawan Hegemoni ITB

12 April 2010 16:49:01
Malam itu, saya pergi berselancar bersama Eyang Google. Mata saya terbelalak melihat kata-kata berbunyi ”Melawan Hegemoni ITB” tercecer di milist alumni ITB. Padahal niat awal hanya mencari kabar tentang Dies Emas ITB setahun lalu (nama ITB resmi dipakai 2 Maret 1959). Karena penasaran, saya malah menelusuri perdebatan ini, tanpa suatu tendensi apapun. Sampai pertanyaan, siapa kampus teknik terbaik di Indonesia? Kakaknya atau adiknya?
Kampus ITS, ITS Online - Soal SNMPTN baru saja dibagikan. Mata Andi melirik Tono. “No…Pilih apa nih, B atau S?”. “B aja. B itu pasti Bahagia”. “Kalau S?”. “S itu Sengsara Ndi. ” sekejap gigi Tono berderet tampil di bawah bibirnya yang mengembang. Sementara alis Andi mengerut keheranan. Cita-cita keduanya memang jadi insinyur. Setahu mereka, hanya ada dua sekolah yang secara jantan bisa memberi mimpi itu. Tidak sedikit anak seperti Andi yang selalu bingung memilih kampus tambatan hatinya. Akhirnya image-lah yang menuntun mereka menempatkan B dulu baru S. Benar salah?

Saat ini, hampir tiap kampus memiliki jurusan teknik, kecuali Akademi Kebidanan. Tapi kalau bicara masalah dedengkotnya teknik, hanya ada dua: ITB dan ITS. Nama besar keduanya jadi rebutan anak-anak SMA sederajat. ITB terkenal dengan nama harum alumninya, salah satunya Ir Soekarno, sedangkan ITS terkenal dengan industri maritim dan dunia robotikanya.

Sayang, di mata masyarakat luas, keberadaan ITS masih di bawah bayang-bayang saudara tuanya. Seperti bayang-bayang klub sepak bola Manchester United di atas Manchester City. Wajar saja, sejak SNMPTN masih bernama UMPTN sekitar 20 tahun lalu, nama ITB tak pernah bergeser dari posisi puncak nilai rata-rata terbaik untuk kelompok IPA.
ITB tetap paling favorit sedang ITS hanya mampu menggoda siswa SMA sederajat di wilayah Jawa Timur dan sebagian Indonesia Timur. Bahkan di wilayah barat, nama ITS hanya terdengar sayup-sayup.

Terbukti, tiap kali saya pulang kampung ke Depok, Jawa Barat, banyak tetangga yang bilang, “ITS ya, swasta atau negeri
tuh?”. Dalam hati saya membalas,”Swasta dari Hongkong!!!”. “Wah…hebat kamu ya bisa kuliah di Hongkong.” ternyata ia bisa baca kata hati saya. Lain tetangga, lain pula tusukan teman lama saya yang polosnya luar biasa. ”Kuliah dimana sekarang?” tanyanya. “Ehm…jadi nggak enak nih nyebut-nya,” gaya saya agak sombong. “ITS dong bro!” jawab saya bersemangat. “Wah…ITS, pinter juga lu bro! Di Semarang nge-kos apa sama saudara?”. Yah…

***
Sekali lagi, tanpa tendensi dan tiap fakta di bawah ini tak bisa digeneralisasi. Saya juga tak mau disebut seperti kata pepatah: istri tetangga lebih cantik dari istri sendiri.
Oh salah, rumput tetangga maksudnya. Saya hanya pengamat dari perdebatan everything about ITS dan ITB di dunia maya. Saya laporkan di sini dengan kerendahan hati, semoga kita semakin terpacu.

Percaya Diri
Banyak blog (malah dari anak ITB sendiri) menyimpulkan bahwa sombong adalah sifat yang paling kentara dari anak ITB. Kalau saya menilainya bukan sombong tapi percaya diri. Simpulan lain, anak ITS malah down ketika berhadapan dengan nama besar UI, ITB, dan UGM. Pada poin terakhir ini, 80 % saya sepakat. Entah mengapa, aura mereka begitu menyilaukan.

Saya punya teman SMA di ITB, ketika sekelas di SMA dulu levelnya sepadan lah dengan saya. Kelas terbang menengah. Artinya rangking selalu melayang, bodoh tidak, pintar apalagi. Tapi ketika terakhir bertemu, wah…berubah! Kepercayaan dirinya menanjak drastis terlihat dari caranya berbicara. Katanya, menyandang gelar “anak ITB” membuatnya percaya diri.
Padahal dulu, kalau ada tugas presentasi bawaannya izin ke belakang terus.

Ada sebuah idiom unik di sebuah blog,”Kalau orang ITB mikirnya negara, kalau orang ITS mikirnya bagaimana mengalahkan ITB,”.
“Yah…kalau ITS mah nggak level,” tambahnya. Kalau ITS masih coba melangkahi ITB. Kami (ITB), tulisnya, sudah berpikir bagaimana bersaing dengan Todai, Kyodai, Beijing, Nanyang, NUS, Chulalongkorn dkk. “Lewatin dulu tuh UI sama UGM!” lanjutnya.

Saya sama sekali tidak marah. Malah saya bergumam,”Oh iya, kenapa tidak berpikir sejauh itu?”.
Kalau sparring partner kita Tokyo Daigaku bahkan MIT, mungkin kita bisa lari lebih cepat. Mudah-mudahan saya sedang tidak bermimpi.

Contoh lain adalah masalah gaji. Di banyak forum diskusi dunia maya, banyak cerita kalau anak ITS ketika ditanya tentang gaji oleh interviewer, menjawab dengan malu-malu,”Terserah Bapak saja,” . Lantas kemudian dibalas Sang HRD “Di bawah UMR ya?”. Dalam hati saya mencandai, “Oh iya Pak, tidak apa-apa, yang penting bisa makan.
Ngomong-ngomong UMR itu apa Pak?”

Beberapa posting menyebut bahwa
fresh graduate ITB terkenal berani pasang tarif tinggi. Benar atau tidak tak jadi masalah. Bagi saya bukan masalah uangnya, tapi keyakinannya. Seperti beberapa ekspatriat di Indonesia. Berapa persen sih dari mereka yang punya ”kemampuan sebenarnya”. Kadang malah hanya menang penampilan, percaya diri, dan bahasa Inggris cas-cis-cus.

Lulusan bermutu ibarat Mercy SL Class. Dua milyar atau sebanding dengan dua Alphard pun jadi impas untuk mobil dengan spesifikasi seperti itu. Nah, anak ITS bisa kasih harga bersaing seperti anak ITB. Kalau cocok, membayar berapa pun perusahaan mau. Usut punya usut, beberapa survey top university juga melakukan penilaian terhadap “harga jual”
fresh graduate dalam menentukan world rank.

Apresiasi
Saya membaca dua tulisan tentang perkembangan robot ITB di website ITB. Sangat apresiatif. Walaupun seumur hidupnya tak pernah mampu mengalahkan PENS-ITS, mereka punya tekad besar dan dukungan besar untuk maju. Namun di beberapa blog, terpuruknya ITB di bidang robotika jadi bulan-bulanan civitasnya. Dari kritik sampai hujatan, lengkap. Maklum, Robot sudah seperti lambang supremasi anak teknik. Salutnya, walau ada beberapa yang tetap tak mau mengakui dengan menunjukkan prestasi ITB di bidang lain, tapi masih lebih banyak yang bilang,”Kita harus belajar dari mereka,”.

Saat saya main ke UI, waktu itu UI bikin baliho besar ucapan selamat atas masuknya UI di peringkat 250 besar
world’s top university. Saya hanya membayangkan sambil tersenyum, itu baliho bisa sebesar apa ya kalau UI peringkat satu universitas terbaik sedunia-akhirat.

Penghormatan yang mungkin kurang dari diri kita. Banyak mahasiswa yang mendapat juara “cuma diambil pialanya saja”. Padahal berapa
sih ongkos bikin spanduk untuk membuat ucapan selamat. Bunyi “Selamat kepada Tono atas Juara bla bla bla” itu sudah cukup. Si pemilik nama yang dipampang di sudut jalan itu wes bangganya minta ampun.

Kurang apresiasi atau memang tak ada yang berprestasi, saya tidak tahu. Saya jadi ingat kawan saya di salah satu organisasi yang sering lomba ke luar negeri.
Ia mengeluh,”Kalau kita sukses saja, baru dibangga-banggakan. Tapi giliran dimintai bantuan (moril atau materil) pada ngilang semua,”. Ya, mahasiswa butuh apresiasi atas tiap ukir prestasi mereka.

Bukan hanya satu, saya sering dengar banyak mahasiswa ITS baik yang mewakili organisasi ataupun pribadi, ketika lomba pakai kantong sendiri dengan segala keterbatasannya.
Tapi ketika pulang bawa piala dianggap usaha bersama satu ITS. Istilah kebahasaannya “Totem Pro Parte”.

Saya yakin sekali, sebenarnya segmen profil dalam
website ITS dapat terus di-update. Namun terkadang, prestasi tersebut sampai ke meja redaksi hanya dari mulut ke mulut. Sedangkan sangat tidak mungkin bagi 12 reporter ITS Online untuk menanyakan satu per satu ke jurusan, siapa civitas yang berprestasi minggu ini.

Masalah jumlah doktor dan profesor juga jadi perdebatan. Kata mereka dalam forum, jumlah doktor pengaruh pada kualitas pengajaran. ITB masih menang jauh dari ITS. Dari 1056 dosen, ITB punya 800 doktor. Sedangkan dari data Laporan Rektor ITS, sampai Oktober 2008 (maaf kurang update) dosen ITS yang bergelar doktor hanya 200 dari 1125 orang. Belum lagi melihat produktivitas ITB dalam jurnal ilmiah internasional. Kurun Juni 2009, ITB masih peringkat teratas, bahkan di atas LIPI. Sedangkan nama ITS belum nongol di lima besar se-Indonesia versi Scopus.

Beberapa tahun lalu, seorang pejabat ITS pernah mengeluh pada media lokal kalau ITS susah menambah doktor dan profesornya karena kurangnya motivasi dan sibuk “
ngantor” di luar. Tapi sekarang (mungkin) beda, ITS sedang produktif menghasilkan profesor baru. Para dosen juga “dipaksa” jadi doktor, kalau tidak bisa dibilang terpaksa karena malu dosen-dosen muda sekarang sudah banyak yang doktor. Sekali lagi, motivasi dan apresiasi.

Dr Nieuwenhuis berkata “Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkurban untuk keperluan bangsanya,”. Saya mengartikannya sebagai sosok guru yang tulus mengembangkan ilmu untuk muridnya. Melalui muridnya itulah bangsa ini maju. Walaupun guru itu yang akhirnya menjadi korban dengan kesederhanaannya.

Pola pikir terbuka
Walaupun (katanya) sombong, alumni ITB secara terbuka ramai mengkritik almamaternya sendiri. Lihat milis dan blog bertema ITB. Terkadang kritiknya pedas, sehingga debat kusir sering terjadi di dunia maya. Uniknya, pemikiran terbuka dan perdebatan itu berjalan konstruktif.

Mereka juga membahas guyonan Jusuf Kalla saat memberi pidato saat Dies Emas ITB 2009 kemarin. “Kalau negeri ini gagal, maka ITB harus bertanggung jawab,”. Argumen Kalla waktu itu karena ITB menempatkan tujuh alumninya di kabinet SBY-JK. Cukup logis, apalagi dua orang ITB juga pernah meraih kursi RI 1. Hati saya
nyeletuk, untung ITS cuma taruh Pak Nuh.

Termasuk pola pikir ”Saya harus kerja jadi insinyur, karena saya lulusan ITS!” itu cukup terpatri kuat. Apa memang hukumnya wajib ketika saya lulus nanti saya harus bergaul dengan alat-alat pertukangan? Apa tidak ada pilihan lain? Jujur, terkadang hal ini menghambat pola pikir kreatif. Tapi saya sadar, saya tak boleh mengingkari ”kodrat” sebagai (nantinya) alumni institut teknologi.

Dalam beberapa blog, civitas ITB begitu bangga dengan pesebaran alumninya. Mereka bernostalgia dengan nama besar Soekarno dan Habibie. Mereka juga bercerita bagaimana apiknya Hatta Radjasa membanting setir dari Kepala BPPT menjadi Ketua Parpol lalu sekarang jadi Ketua Ikatan Alumni ITB. Atau Ahmad Bakrie dan Arifin Panigoro dengan raksasa bernama Bakrie Group dan Medco Group yang mereka rintis dari nol. Mungkin lebih mencengangkan adalah kisah hidup anak desa dari Sulawesi: Ciputra.

Tak jarang alumni ITB yang justru keluar jalur. Seperti bagaimana fasihnya seorang Fadjroel Rahman dan Rizal Ramli beretorika tentang sistem ekonomi negara. Lain hal, tentu para pecinta sastra tak lupa ketika Nirwan Dewanto mengagetkan dunia sastra Indonesia saat ia tampil di kongres kebudayaan 20 tahun silam. Atau bagaimana seorang Purwacaraka pandai menggubah partitur walau latar pendidikannya Teknik Industri.

Sebenarnya pola pikir ini harus sedikit demi sedikit tertanam. Mungkin sudah mulai tampak dalam dunia akdemik dan kemahasiswaan di ITS. Munculnya pelatihan ESQ, mata kuliah Technopreneurship, seminar-seminar softskill, dan semakin banyak mahasiswa yang
cum laude dan lulus tepat waktu (walau saya tak termasuk di dalamnya) bisa jadi bukti. Geliat kegiatan mahasiswa juga mulai tampak kreatif dan tepat guna. Beberapa tahun terakhir, dari mahasiswa muncul sebuah gerakan dinamisasi untuk mendobrak jauh keluar pattern yang kolot.

Alumni
Sadar atau tidak, IKA ITS jadi panutan bagi ikatan alumni lainnya. Bahkan di milis IA ITB, IKA ITS benar-benar disanjung. Bukan sebuah khayalan, ikatan alumni bisa jadi kendaraan politik yang cukup solid dan bernilai. Hal itu yang terjadi pada Joko Kirmanto (Menteri PU) mantan Ketua KAGAMA, Sofyan Djalil (mantan Menkominfo) juga bosnya ILUNI, dan Hatta Radjasa (Menko Ekuin) adalah Ketua IA ITB.

Alumni ITB tersebut kagum dengan kedewasaan para alumni ITS. Alumni ITS, katanya, tidak ambisius dan saling sikut. Padahal Pak Nuh, saat masih Menkominfo, berpeluang besar jadi ketua. ”Apa ia
nggak mau ikut jejak temannya di kabinet?” katanya. Tapi IKA ITS mampu mendorong agar Pak Nuh fokus pada amanahnya sehingga kursi Ketum jatuh ke Dwi Sutjipto, Dirut Semen Gresik, tanpa “pertumpahan darah”.

Bukan isapan jempol. Saya pernah kerja praktek di galangan. Ketika itu banyak alumni ITS (bukan banyak tapi semuanya), saya serasa hidup di rumah sendiri. Pembimbing saya sangat membantu, termasuk memudahkan saya membuat laporan. Kalau bertemu alumni ITS rasanya seperti kawan lama tak bersua.

Kekuatan alumni inilah yang sering terlupa. ITB dan UI terkenal punya jaringan yang menggurita di pemerintahan, BUMN, dan BUMS. Kesolidannya terihat dimana ketika ada alumninya yang promosi jabatan, maka semua alumni serentak mendukung. Mereka juga secara aktif menempatkan alumni terbaiknya di institusi penting itu dan merekrut juniornya untuk turut mewarnai institusi. ”Alumni ITS kelihatannya kalau sukses sendiri-sendiri,” tulis dalam milis itu. Belum lagi tentang loyalitas mereka pada almamater.

Alumni ITS? Diam-diam menghanyutkan.
Baru-baru ini terbit buku berjudul Inspire to Succes: Menuju Kemandirian Bangsa Ide 100 tokoh alumni ITS. Entrepreneur, Pejabat BUMN/BUMS, Pemerintahan, Pendidikan, LSM/Organisasi, dan peneliti. Pucuk-pucuk pimpinan dan posisi strategis itu sudah pernah kita pegang. Bahkan tak sedikit, alumni ITS yang keluar jalur dan sukses. Walau tak sepopuler alumni ITB, nyatanya alumni ITS juga tak bisa dipandang remeh.

Semua poin tadi adalah sedikit perbandingan saja. Masing-masing punya karakter dan nilai positif. Agar tak tergelincir, maka belajarlah merunduk seperti padi.
ITB dan ITS memang kampus teknik terbaik, tapi baru di kandang sendiri. Ketika di Asia apalagi dunia, nama keduanya masih ”di bawah garis kemiskinan”. Bagi saya, lulusan apa pun kita atau bahkan tak pernah mencicipi bangku kuliah sekalipun, akan lebih bernilai ketika kita mampu berkontribusi bagi masyarakat luas di sekitar kita. Dengan cara apapun.


”Dik, Kakak beri kamu sebungkus hadiah untuk ulang tahunmu November besok,”.
”Jangan Kak. Beri saja hadiah itu pada Ibu. Dialah yang berjasa sampai kita berumur 50,”
”Sekarang Ibu mana?”
”Itu...” Sang Adik menunjuk gubuk-gubuk reot di balik kemegahan gedung berteknologi tinggi yang dibangun para insinyur cerdas.


Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Monday, April 19, 2010

Saat Pemerintah Menjadi Penjajah

Tulisan di bawah ini saya copas dari http://abisyakir.wordpress.com/

Tindak-tanduk satpol PP menampakkan wajah asli pemerintah sebagai penjajah atas kedaulatan rakyat.


Kedegilan Moral Satpol PP

Kerusuhan di Tanjung Priok, Koja Jakarta, hanyalah gunung es dari segala kedegilan moral Satpol PP (atau Tramtib). Mereka ini adalah institusi negara yang terkenal kezhalimannya terhadap rakyat kecil, kaum lemah (mustadh’afin). Ada ribuan kezhaliman yang telah dilakukan Satpol PP di kota-kota di seluruh Indonesia. Mereka terkenal dengan sikap kejam dan bengisnya kepada pedagang kaki lima (PKL), masyarakat penghuni pemukiman kumuh, serta orang-orang marginal yang mencari penghidupan seadanya di tengah kota besar.

Kerusuhan di Koja di kawasan Makam Mbah Priok, hanyalah ledakan dari dua kekuatan yang saling berhadapan: Pertama, kekuatan rakyat yang sudah tak sanggup bersabar atas segala kezhaliman preman berseragam, yang bernama Satpol PP. Kedua, kekuatan Satpol PP dalam membela kepentingan kapitalisme, kesewenang-wenangan birokrasi, serta colonialism by state (penjajahan oleh negara).

· Kerusuhan di Koja memberi arti yang sangat besar, antara lain:

· Satpol PP DKI Jakarta adalah yang paling brutal di antara seluruh Satpol PP (Tramtib) yang ada di Indonesia. Mereka paling bengis, kejam, dan sewenang-wenang.

· Kerusuhan di Koja membuktikan bahwa rakyat mampu melawan kesewenang-wenangan aparat birokrasi, meskipun mereka tidak dilengkapi senjata. Hal ini mengingatkan kita pada perlawanan “bambu runcing” di era penjajahan dulu. Kekuatan rakyat terbukti mampu menghalau kesewenang-wenangan aparat.

· Satpol PP dalam setiap aksinya selalu beralasan dengan SK yang dikeluarkan oleh Pemda/Pemkot. Mereka katanya beraksi dalam rangka merealisasikan keputusan birokrasi. Ada kalanya mereka beralasan, “Kami sudah memberi peringatan terlebih dulu kepada warga. Kami bertindak berdasarkan keputusan hukum.” Alasan demikian diulang-ulang di berbagai tempat, sehingga ia menjadi MODUS tersendiri. Dengan dalih menerapkan aturan, mereka berbuat sewenang-wenang.

· Tidak berlebihan jika sebagian orang menyebut Satpol PP (Tramtib) sebagai “tukang pukul” yang dipelihara oleh Pemda/Pemkot. Ini adalah ungkapan yang tidak jauh dari kenyataan. Bahkan sejujurnya, Satpol PP adalah “buldozer”-nya para pengusaha kapitalis dan birokrat yang rendah moral. Mereka tidak ada niat sedikit pun untuk berbuat bijak dan ramah kepada rakyat kecil, tetapi merasa nikmat dengan menganiaya orang lemah.

· Kerusuhan di Koja, semakin menambah daftar panjang kebobrokan berbagai institusi birokrasi. Di bawah kepemimpinan SBY citra kabinet, Bank Indonesia, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perpajakan, dll. rusak berat. Kini ditambah kesewenang-wenangan Satpol PP DKI Jakarta. Luar biasa! SBY seperti tidak mampu sama sekali memimpin pemerintahan menuju clean government seperti yang dia bangga-banggakan. Politik SBY benar-benar politik lipstick, hanya tampak luarnya baik, padahal kondisi internal sangat rusak.

Banyak sudah tangisan masyarakat bercucuran, karena tak kuasa menghadapi kebengisan Satpol PP (Tramtib). Hingga ada seorang bayi yang tewas karena tubuhnya tersiram minyak panas dari gerobak jualan orangtuanya. Minyak itu tertumpah karena kezhaliman manusia berhati setan, yang kerap memakai seragam Tramtib itu. Apa yang terjadi di Koja hanyalah puncak kezhaliman institusi yang sewenang-wenang itu.

Ternyata, masyarakat Koja, ketika mampu bersatu dan bangkit, maka Satpol PP pun mampu dihalau, sehingga kesewenang-wenangan mereka mampu dihentikan. Arogansi Satpol PP DKI Jakarta bukanlah segala-galanya. Siapapun yang tangannya berlumuran kezhaliman pasti akan sanggup dikalahkan, jika masyarakat bersatu dan bangkit dalam membela hak-hak mereka yang terzhalimi.

Keberadaan Satpol PP semakin menguatkan kesimpulan, tentang colonialism by state (penjajahan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri). Pada mulanya, negara dibentuk adalah demi melayani masyarakat, melindungi jiwa, harta, dan kehidupan masyarakat; serta membela kepentingan masyarakat dari segala kezhaliman dan kesewenang-wenangan. Tetapi kemudian negara dikangkangi oleh manusia-manusia korup, para elit politik yang tak bermoral. Mereka memakai instrumen negara, terutama instrumen militer, kepolisian, dan penegak hukum; demi kepentingan mereka sendiri. Mereka lupa dengan amanah rakyat di balik pendirian negara itu sendiri.

Negara akhirnya menjadi sebuah INSTRUMEN BESAR yang sama sekali terpisah dari kepentingan masyarakat. Negara tumbuh sebagai kekuasaan yang penuh arogansi, yang menempatkan rakyat sebagai obyek penindasan. Rakyat yang semula memberi mandat kepada negara untuk mengurusi kepentingan mereka, malah menjadi bulan-bulanan arogansi instrumen negara tersebut. Kenyataan inilah yang terjadi di Indonesia, sejak lahirnya tahun 1945, terutama sejak Reformasi 1998. Reformasi menjadi jalan bagi instumen negara untuk menjajah rakyatnya sendiri dengan aturan-aturan yang sangat merugikan.

Dalam Islam ada istilah, “Ra’isul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum itu). Tetapi ketika negara telah menjadi PENJAJAH atas rakyatnya sendiri, alih-alih mau melayani masyarakat, negara justru menjadikan rakyat sebagai sasaran kezhaliman, tanpa kesudahan.

Kalau Anda tidak percaya, coba tanyakan kepada diri Anda sendiri, “Untuk apa sih sebenarnya negara itu dibentuk? Untuk siapa sih sebenarnya Pemerintahan ditubuhkan? Untuk kepentingan siapa dibentuk kepolisian, kehakiman, kejaksaan, militer, Satpol PP, dll.?”

Secara teori, mereka dibentuk dan dibiayai untuk rakyat. Tetapi secara praktik, mereka adalah instrumen negara untuk menjajah rakyatnya sendiri. Bukan hanya asing yang menjajah rakyat, tetapi juga aparat birokrasinya sendiri. Sangat ironis dan memuakkan. Tetapi itulah kenyataannya.

Ummat Islam harus sungguh-sungguh memikirkan hak-hak mereka, memikirkan aset-aset kehidupannya, lalu melindungi semua itu dengan segenap kekuatan yang dimiliki. Dan mari berharap kepada Allah, di suatu masa nanti semua hakikat penjajahan ini akan diakhiri. Persis seperti amanah UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Ini adalah wasiat bapak-bapak kita para pendiri bangsa ini, sejak semula.

Pemda/Pemkot banyak yang telah keluar dari jalurnya, yaitu melayani dan melindungi rakyat. Mereka telah menjadi INSTRUMEN PENJAJAHAN atas rakyatnya sendiri. Dan Satpol PP (Tramtib) kerap kali menjadi buldozer para penjajah itu untuk menzhalimi rakyatnya sendiri.

Ingatlah selalu kerusuhan di Koja. Disana Satpol PP mampu dipukul mundur. Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Walillahil hamdu.

AMW.