Monday, April 19, 2010

Saat Pemerintah Menjadi Penjajah

Tulisan di bawah ini saya copas dari http://abisyakir.wordpress.com/

Tindak-tanduk satpol PP menampakkan wajah asli pemerintah sebagai penjajah atas kedaulatan rakyat.


Kedegilan Moral Satpol PP

Kerusuhan di Tanjung Priok, Koja Jakarta, hanyalah gunung es dari segala kedegilan moral Satpol PP (atau Tramtib). Mereka ini adalah institusi negara yang terkenal kezhalimannya terhadap rakyat kecil, kaum lemah (mustadh’afin). Ada ribuan kezhaliman yang telah dilakukan Satpol PP di kota-kota di seluruh Indonesia. Mereka terkenal dengan sikap kejam dan bengisnya kepada pedagang kaki lima (PKL), masyarakat penghuni pemukiman kumuh, serta orang-orang marginal yang mencari penghidupan seadanya di tengah kota besar.

Kerusuhan di Koja di kawasan Makam Mbah Priok, hanyalah ledakan dari dua kekuatan yang saling berhadapan: Pertama, kekuatan rakyat yang sudah tak sanggup bersabar atas segala kezhaliman preman berseragam, yang bernama Satpol PP. Kedua, kekuatan Satpol PP dalam membela kepentingan kapitalisme, kesewenang-wenangan birokrasi, serta colonialism by state (penjajahan oleh negara).

· Kerusuhan di Koja memberi arti yang sangat besar, antara lain:

· Satpol PP DKI Jakarta adalah yang paling brutal di antara seluruh Satpol PP (Tramtib) yang ada di Indonesia. Mereka paling bengis, kejam, dan sewenang-wenang.

· Kerusuhan di Koja membuktikan bahwa rakyat mampu melawan kesewenang-wenangan aparat birokrasi, meskipun mereka tidak dilengkapi senjata. Hal ini mengingatkan kita pada perlawanan “bambu runcing” di era penjajahan dulu. Kekuatan rakyat terbukti mampu menghalau kesewenang-wenangan aparat.

· Satpol PP dalam setiap aksinya selalu beralasan dengan SK yang dikeluarkan oleh Pemda/Pemkot. Mereka katanya beraksi dalam rangka merealisasikan keputusan birokrasi. Ada kalanya mereka beralasan, “Kami sudah memberi peringatan terlebih dulu kepada warga. Kami bertindak berdasarkan keputusan hukum.” Alasan demikian diulang-ulang di berbagai tempat, sehingga ia menjadi MODUS tersendiri. Dengan dalih menerapkan aturan, mereka berbuat sewenang-wenang.

· Tidak berlebihan jika sebagian orang menyebut Satpol PP (Tramtib) sebagai “tukang pukul” yang dipelihara oleh Pemda/Pemkot. Ini adalah ungkapan yang tidak jauh dari kenyataan. Bahkan sejujurnya, Satpol PP adalah “buldozer”-nya para pengusaha kapitalis dan birokrat yang rendah moral. Mereka tidak ada niat sedikit pun untuk berbuat bijak dan ramah kepada rakyat kecil, tetapi merasa nikmat dengan menganiaya orang lemah.

· Kerusuhan di Koja, semakin menambah daftar panjang kebobrokan berbagai institusi birokrasi. Di bawah kepemimpinan SBY citra kabinet, Bank Indonesia, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perpajakan, dll. rusak berat. Kini ditambah kesewenang-wenangan Satpol PP DKI Jakarta. Luar biasa! SBY seperti tidak mampu sama sekali memimpin pemerintahan menuju clean government seperti yang dia bangga-banggakan. Politik SBY benar-benar politik lipstick, hanya tampak luarnya baik, padahal kondisi internal sangat rusak.

Banyak sudah tangisan masyarakat bercucuran, karena tak kuasa menghadapi kebengisan Satpol PP (Tramtib). Hingga ada seorang bayi yang tewas karena tubuhnya tersiram minyak panas dari gerobak jualan orangtuanya. Minyak itu tertumpah karena kezhaliman manusia berhati setan, yang kerap memakai seragam Tramtib itu. Apa yang terjadi di Koja hanyalah puncak kezhaliman institusi yang sewenang-wenang itu.

Ternyata, masyarakat Koja, ketika mampu bersatu dan bangkit, maka Satpol PP pun mampu dihalau, sehingga kesewenang-wenangan mereka mampu dihentikan. Arogansi Satpol PP DKI Jakarta bukanlah segala-galanya. Siapapun yang tangannya berlumuran kezhaliman pasti akan sanggup dikalahkan, jika masyarakat bersatu dan bangkit dalam membela hak-hak mereka yang terzhalimi.

Keberadaan Satpol PP semakin menguatkan kesimpulan, tentang colonialism by state (penjajahan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri). Pada mulanya, negara dibentuk adalah demi melayani masyarakat, melindungi jiwa, harta, dan kehidupan masyarakat; serta membela kepentingan masyarakat dari segala kezhaliman dan kesewenang-wenangan. Tetapi kemudian negara dikangkangi oleh manusia-manusia korup, para elit politik yang tak bermoral. Mereka memakai instrumen negara, terutama instrumen militer, kepolisian, dan penegak hukum; demi kepentingan mereka sendiri. Mereka lupa dengan amanah rakyat di balik pendirian negara itu sendiri.

Negara akhirnya menjadi sebuah INSTRUMEN BESAR yang sama sekali terpisah dari kepentingan masyarakat. Negara tumbuh sebagai kekuasaan yang penuh arogansi, yang menempatkan rakyat sebagai obyek penindasan. Rakyat yang semula memberi mandat kepada negara untuk mengurusi kepentingan mereka, malah menjadi bulan-bulanan arogansi instrumen negara tersebut. Kenyataan inilah yang terjadi di Indonesia, sejak lahirnya tahun 1945, terutama sejak Reformasi 1998. Reformasi menjadi jalan bagi instumen negara untuk menjajah rakyatnya sendiri dengan aturan-aturan yang sangat merugikan.

Dalam Islam ada istilah, “Ra’isul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum itu). Tetapi ketika negara telah menjadi PENJAJAH atas rakyatnya sendiri, alih-alih mau melayani masyarakat, negara justru menjadikan rakyat sebagai sasaran kezhaliman, tanpa kesudahan.

Kalau Anda tidak percaya, coba tanyakan kepada diri Anda sendiri, “Untuk apa sih sebenarnya negara itu dibentuk? Untuk siapa sih sebenarnya Pemerintahan ditubuhkan? Untuk kepentingan siapa dibentuk kepolisian, kehakiman, kejaksaan, militer, Satpol PP, dll.?”

Secara teori, mereka dibentuk dan dibiayai untuk rakyat. Tetapi secara praktik, mereka adalah instrumen negara untuk menjajah rakyatnya sendiri. Bukan hanya asing yang menjajah rakyat, tetapi juga aparat birokrasinya sendiri. Sangat ironis dan memuakkan. Tetapi itulah kenyataannya.

Ummat Islam harus sungguh-sungguh memikirkan hak-hak mereka, memikirkan aset-aset kehidupannya, lalu melindungi semua itu dengan segenap kekuatan yang dimiliki. Dan mari berharap kepada Allah, di suatu masa nanti semua hakikat penjajahan ini akan diakhiri. Persis seperti amanah UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Ini adalah wasiat bapak-bapak kita para pendiri bangsa ini, sejak semula.

Pemda/Pemkot banyak yang telah keluar dari jalurnya, yaitu melayani dan melindungi rakyat. Mereka telah menjadi INSTRUMEN PENJAJAHAN atas rakyatnya sendiri. Dan Satpol PP (Tramtib) kerap kali menjadi buldozer para penjajah itu untuk menzhalimi rakyatnya sendiri.

Ingatlah selalu kerusuhan di Koja. Disana Satpol PP mampu dipukul mundur. Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Walillahil hamdu.

AMW.

No comments:

Post a Comment